
cimporong.com , Jakarta Kapolri Jendrerl Listyo Sigit Prabowo memutuskan Peraturan Kepolisian Peraturan Nomor 3 Tahun 2025 yang mengandung ketentuan tentang pengawasan atas orang luar negeri WNA ) di Indonesia. Satu butir pasal dalam undang-undang tersebut mengatur tentang aktivitas jurnalisme dan penelitian yang perlu memperoleh persetujuan dari pihak kepolisian.
"Pembuatan dokumen polisi untuk warga negara asing yang melangsungkan aktivitas jurnalisme atau riset di area spesifik," demikian isi Pasal 5 Ayat 1 Huruf b dari Perpol Nomor 3 Tahun 2025. Area spesifik sebagaimana disebutkan dalam aturan ini akan ditentukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Menanggapi kebijakan tersebut, Dewan Direktur Aliansi Indonesiauntuk Kebebasan Ilmu Pengetahuan (AIKP) melakukan tindak lanjut.
Herlambang P. Wiratraman menyebut bahwa menurut Pasal 8 juncto 9 ayat (3) Peraturan Polri Nomor 2/2025, langkah pertama yang mungkin timbul adalah Ancaman terhadap kemerdekaan akademis, sebab pihak kepolisan mencampuri urusan tanpa memiliki pengetahuan yang cukup. Selanjutnya, lanjut Herlambang, ini bisa mengacaukan suasana riset di negara kita.
"Oleh karena tingginya kompleksitas serta ketidakrelevanan lembaga kepolisian tersebut, para peneliti internasional mungkin semakin ragu untuk bekerja sama dalam melakukan riset di Indonesia. Apalagi mengingat proses izin yang ada saat ini pun telah cukup membingungkan dan sulit bagi mereka," ungkap Herlambang kepada Tempo , Jum'at, 4 April 2025.
Menurut Herlambang, publikasi Perpol 3/2025 menunjukkan keraguan serta campur tangan instansi kepolisian dalam urusan dan kewenangan bidang imigrasi, lembaga pendidikan, Departemen Pendidikan Tinggi, badan penelitian BRIN, dan juga berbagai organisasi atau asosiasi para ahli.
Dia juga menyoroti bahwa Peraturan Pemerintah No. 3/2025 seharusnya tidak bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Kependudukan Asing. "Aturan ini telah tumpang tindih dan mungkin bahkan merampasi kewenangan yang dimiliki oleh otoritas imigrasi."
"Perpol ini semakin membingunkan ketidakjelasan hukum serta manfaat dari sistem peradilan di Indonesia, sebab susunan hukum yang telah berfungsi dengan baik malah terganggu oleh adanya Perpol tersebut," tambahan Herlambang.
Herlambang mengatakan bahwa sebelum adanya Perpol 3/2025, telah banyak kasus penggunaan wewenang eksekutif terhadap peneliti asing yang tidak hanya berakhir tanpa klarifikasi alasan-alasannya tetapi juga mudah disalahgunakan untuk tujuan politis. Menurutnya, hal ini seringkali terjadi ketika penelitian tersebut berkaitan dengan kebijakan negara yang bersifat korup atau dengan eksploitasi sumber daya alam oleh kelompok elit.
"Peristiwa terkait Eric Meijaard dan kawan-kawannya, serta kasus David Geavu yang diganjar deportasi dan larangan masuk melalui proses administratif, menggambarkan kondisi itu," jelas Herlambang.
Menurut dia, sumbangan dari para peneliti itu amat dibutuhkan oleh Indonesia dalam mempertahankan keseimbangan serta keberlanjutan lingkungan sampai keanekaragaman hayati. Dia mengatakan bahwa peneliti-peneliti asing itu dilibatkan atau berkolaborasi erat dengan banyak peneliti lokal dikarenakan sifat ilmiah mereka yang umumnya bersifat lintas disiplin dan saling melengkapi.
Dia menjelaskan bahwa praktik membatasi para peneliti asing saat ini mencerminkan pendekatan yang sangat berbeda dari penyainfokritis, yaitu sebagai bentuk politik anti-saintifik serta upaya untuk mengendalikan hasil penelitian yang mendukung kepentingan kelompok elit penguasa. Dia menambahkan hal tersebut dapat membahayakan kebebasan akademik dan merugikan perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga umat manusia secara keseluruhan dan peradabannya.
Herlambang menyebut bahwa adanya aturan tersebut akan membuat proses riset menjadi lebih rumit dan menumpuk beban birokrasi. Ini dapat memiliki dampak negatif pada perguruan tinggi yang sedang mengerjakan kerjasama ilmiah atau penelitian di kancah global. Aturan baru ini malah bertolak belakang dengan tujuan penguatan kolaborasi internasional bagi para peneliti dari berbagai negara.
Menurut pendapatnya, apabila Perpol tersebut dilaksanakan, maka masyarakat Indonesia dapat merugi dalam hal jumlah penelitian yang berpotensi menurun. Herlambang menyebutkan bahwa kompleksitas birokrasi di negara kita telah menjadi keluhan bagi beberapa peneliti Jerman terhadap KIKA, sehubungan dengan dampak pengrusakan tambang nikel di Sulawesi Tenggara.
Oleh karena menghadapi tantangan dalam pendaftaran dan gangguan, sekarang tim riset kolaboratif tentang keragaman hayati telah mentransfer tempat penelitian mereka ke negara-negara tetangga seperti Vietnam," kata Herlambang. "Sudah tidak aneh jika Indonesia tertinggal dalam hal penelitian dibandingkan dengan negara-negara di sekitarnya.
Herlambang menyatakan bahwa KIKA dengan jelas menentang dan meminta penghapusan Perpol 3/2025 tersebut, sebab di luar tidak memiliki kewenangan untuk mengaturnya sendiri, ia juga mencuri wewenang dari institusi negara lain.
Dia menjelaskan dari sudut pandang perundang-undangan, Perpol 3/2025 tak cocok dengan kriteria regulasinya sebab tingkatannya sangat rendah dibandingkan undang-undang meskipun esensinya adalah pembatasan. Hal tersebut menurutnya menghasilkan keraguan dalam hal hukum serta merugikan asas negara hukum dan keadilan.
"Sebab melanggar hak atas kebebasan ilmiah seperti yang ditetapkan dalam Prinsip-Prinsip Surabaya mengenai Kebebasan Akademik; bertentangan denganصند rights to scientific research seperti yang disyaratkan oleh undang-undang mengenai hak terhadap pendidikan; serta mengecilkan usaha-usaha maju untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ujarnya.
Terkait dengan kritikan atas kebijakan yang dirilis oleh organisasinya, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektir Jenderal Sandi Nugroho menyatakan tentang Peraturan Kepolisan No. 3 Tahun 2025 yang membahas pengawasan terhadap orang asing di wilayahnya.
Menurut Sandi, aturan ini dikeluarkan dengan tujuan melindungi orang luar yang melakukan kegiatan di Indonesia, seperti halnya wartawan dan peneliti internasional. "Alasan di balik pengeluaran Perpol Nomor 3 Tahun 2025 adalah untuk memberikan layanan dan perlindungan bagi warga negara lain yang bekerja di seantero Indonesia, termasuk daerah-daerah rentan konflik," ungkap Sandi dalam pernyataannya secara tertulis. Tempo , Kamis, 3 April 2025.
Alif Ilham menyumbang untuk penyusunan artikel ini.
0 Komentar