Impor AS dan Dampaknya pada Masa Depan Infrastruktur Digital Indonesia: Asioti Bicara

cimporong.com.CO.ID - JAKARTA. Presiden AS Donald Trump telah secara resmi menerapkan bea masuk. Asosiasi Internet of Things Indonesia (Asioti) berpendapat bahwa langkah ini bisa menghalangi perkembangan infrastruktur digital dalam negeri serta memperlambat laju transformasi digital di seluruh Indonesia.

Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet, Indonesia saat ini sangat tergantung pada sistem koneksi yang luas dan berkinerja tinggi. Infrastruktur digital semacamnya termasuk jaringan 5G, fixed wireless access (FWA) dan sistem komunikasi satelit memiliki peranan penting dalam mendukung kesetaraan ekonomi digital di semua area, mencakup wilayah-wilayah yang tertinggal, terpencil, serta paling ujung (3T).

Kebijakan tariff itu memiliki dampak langsung pada tersedianya peralatan dan komponen teknologi di mana sebagian besar masih bergantung pada jaringan pasok global, termasuk dari Amerika Serikat dan negara-negara mitra lainnya yang terkena imbas.

Menurut data dari Kementerian Perdagangan, Indonesia menunjukkan surplus perdagangan sebesar US$ 14,34 miliar untuk periode Januari hingga Desember tahun 2024. Di tahun tersebut, mesin dan peralatan elektronik merupakan barang yang paling banyak dijual oleh Indonesia kepada Amerika Serikat. Jumlah nilai ekspornya mencapai US$ 4,18 miliar.

Ketua Umum Asioti Teguh Prasetya mengatakan bahwa kebijakan proteksionis tersebut tidak hanya berdampak pada para pemain industri, namun juga menahan pertumbuhan teknologi. internet of things (IoT), cloud computing, big data , kecerdasan buatan (AI), hingga jaringan 5G yang mendukung perubahan digital di Indonesia.

Bila tak ditangani sejak dini, kita cenderung merosot pada peringkat yang ada dalam indeks. broadband "Global yang sekarang telah berada dibawah rata-rata negara-negara ASEAN," ungkap Teguh, seperti disampaikan pada hari Sabtu (5/4) melalui pernyataan tertulis kepada cimborongan.com.co.id.

Berdasarkan informasi dari indeks Global Broadband terbaru yang dirilis oleh Speedtest Global Index, peringkat Indonesia dalam hal kecepatan koneksi broadband internasional dapat dilihat sebagai berikut: mobile Masih kalah bersaing dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Indonesia menempati posisi 103 dengan kecepatan rata-rata sebesar 20,17 Mbps, yang lebih rendah jika dibandingkan Brunei di peringkat 16, Singapura pada peringkat 22, Malaysia di urutan 46, Vietnam ada di peringkat 52, Thailand menduduki posisi 54, Laos berada di tempat 68, Myanmar masuk dalam ranking 75, sementara itu Filipina dan Kamboja terletak di peringkat 80 dan 96 secara global.

Jika tidak ada peningkatan pada infrastrukturnya yang berbasis digital, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam menyusutkan jarak tertinggalnya serta merealisasikan tujuannya menjadi pemain utama ekonomi digital terbesar di ASEAN.

Di samping itu, ketegangan geopolitis antara Amerika Serikat dan Tiongkok semakin menyulitkan akses terhadap teknologi maju yang berasal dari keduanya. Sementara itu, banyak sekali solusi digital serta sistem IoT di Indonesia yang sangat mengandalkan perangkat buatan kedua negara tersebut. Ini memberikan tambahan hambatan bagi perkembangan stabilitas dalam pengembangan teknologi lokal di tanah air.

Asioti tidak menyarankan pemblokiran impor dari Amerika Serikat sebagai jawaban, karena masih dibutuhkannya akses ke teknologi global untuk memajukan inovasi dan efisiensi dalam negeri. Sebagai gantinya, ASIOTI menganjurkan langkah-langkah strategis dengan berfokus pada beberapa aspek tertentu.

Yaitu, memproduksi sendiri teknologi penting, mengamplifikasikan kerjasama dengan berbagai pemain teknologi di tingkat dunia, melindungi proyek infrastruktur seperti 5G dan satelit, mendukung perusahaan rintisan dan penelitian & pengembangan dalam negeri, serta menerapkan aturan yang mencakup dan responsif terhadap kemajuan digital.

"Kami perlu menganggap tantangan ini sebagai peluang untuk menciptakan kekebalan digital di tingkat nasional. Ketika kami menyebut mandiri tidak selalu berarti tertutup, namun lebih pada kapabilitas untuk tetap terhubung secara global sementara sekaligus memperkokoh landasan teknologi lokal," jelas Teguh.

0 Komentar