
Hampir sebulan telah berlalu selama Ramadan, dan aura spesialnya makin kuat dirasakan. Lalu lintas menjadi lebih padat mendekati waktu maghrib, diisi oleh manusia yang bergegas untuk memburu buka puasa.
Pedagang kecil itu terlihat senyum lebar saat melihat barang dagangannya laku keras, sedangkan beberapa pedagang lain tetap duduk di belakang gerobak mereka, menantikan adanya pelanggan baru sebelum petunjuk waktu shalat dikumandangkan.
Terdapat keteduhan dalam panorama ini, seolah-olah peringatan bahwa bulan Ramadhan senantiasa menghadirkan keberkahan dengan cara-cara sederhana. Namun, di antara kesibukan tersebut, terbayang sesuatu yang sering kali muncul dalam pikiran;
Ramadan sungguh mendidik kita untuk bertapa dari rasa lapar dan haus, tetapi masih terdapat banyak hal lain yang patut dikendalikan, yang kiranya jauh lebih sukar ketimbang hanya menantikan saat berbuka puasa.
Tiap individu pasti punya hambatan tersendiri saat berpuasa. Beberapa mungkin menganggap kesulitan utama adalah perlu bertahan dari rasa lapar dan dahaga sepanjang hari. Sementara itu, ada pula yang fokus pada pengendalian emosi seperti marah ataupun memelihara ucapan untuk tidak melukai hati orang lain.
Sayangnya, tantangan yang kerap diabaikan adalah "mengontrol diri terhadap perilaku yang dapat dikelola." Meskipun Ramadhan hadir sebagai waktu untuk berpantauan dan introspeksi, ternyata tak setiap individu memandangnya sebagai kesempatan untuk melakukan transformasi.
Banyak orang masih menghabiskan waktu lama di media sosial tanpa sadar bahwa bulan Ramadan sudah semakin dekat berakhirnya. Di sisi lain, ada pula yang terus-menerus berkumpul dengan teman-temannya sampai dini hari dan melupakan momen penting yang dapat digunakan lebih produktif.
Bukan bermaksud bahwa kebiasaan tersebut buruk, tetapi adakah saatnya menghentikan diri sebentar dan memikirkan: Sebenarnya apa tujuan kita dalam bulan yang diberkati ini?
Setelah berbuka puasa, terdapat dua pemandangan yang agak bertolak belakang. Di satu sisinya, masjid-masjid mulai dipadati jamaah yang siap melaksanakan salat tarawih. Beberapa tiba dengan antusiasme tinggi, sebagian lain hanya mengikutinya secara formal, serta beberapa lagi tetap bertahan sampai witir, menyerap atmosfer Ramadan yang istimewa ini yang tak hadir setiap hari.
Sebaliknya, terdapat tempat nongkrong yang tak kalah populernya. Sebagian orang lebih suka berada di warung kopi atau bertemu di taman kotama, merasakan suasana malam dengan percakapan yang lancar dan alami.
Tidak ada halangan untuk bertemu dan merayakan bersama teman-teman, sebab persatuan memang menjadi elemen dalam hidup. Namun kadang-kadang timbul pertanyaan sederhana: Bisakah keterlibatan kita bersama mereka memberi manfaat atau malah menyebabkan bulan Ramadhan berjalan begitu saja tanpa substansi?
Kali ini pula, tak seorang pun dapat mendesak orang lain agar mereka menjadi lebih religius atau merombak rutinitasnya. Beribadah merupakan halangan privat, dan masing-masing individu memiliki jejak langkah tersendiri dalam menjalankannya.
Namun, ada satu pemikiran yang dapat dipertimbangkan: Ramadan hadir setahun sekali, dan bila tiap tahun berganti tanpa perubahan signifikan, kapan saatnya sebenarnya untuk memulai transformasi?
Pada zaman modern ini, mengendalikan diri terhadap godaan tak melulu berkaitan dengan makanan atau minuman saja. Terdapat banyak sekali gangguan yang dapat menyebabkan waktu berjalan begitu cepat tanpa kita sadari.
Sosial media, contohnya saja. Bulan Ramadhan yang idealnya dijadikan waktu introspeksi diri seringkali malah digunakan sebagai arena untuk mencolokkan kehidupan. Beberapa orang bersaing menyajikan foto sahur atau buka puasa dengan hidangan mewah, beberapa lagi fokus pada perbandingan praktik ibadah mereka dengan manusia lain, dan masih banyak juga yang tetap merayakan trend-trend yang sesungguhnya tak selaras dengan semburat spiritualitas Ramadan.
Di samping itu, terdapat pula pengujian untuk mempertahankan kebersihan jiwa dan akal. Puasa tidak sekadar berfokus pada penahanan rasa lapar, melainkan juga mengendalikan emosi seperti cemburu, kemarahan, serta perilaku yang dapat meredupkan nilai ibadah tersebut.
Terkadang, tugas-tugas sederhana yang harus diselesaikan setiap hari malah menjadi tantangan yang lebih berat daripada menghadapi dahaga saat panas mataharinya.
Satu Kali Setiap Tahun, Namun Apakah Ada Perubahan?Ramadan hadir sebagai peluang untuk menyegarkan diri, tidak hanya sebagai kebiasaan musiman yang lewat dengan sia-sia. Ini bukan tentang menjelma menjadi orang baru dalam semalam, melainkan minimal ada satu aspek yang dapat ditingkatkan dibanding Ramadan sebelumnya.
Bisa jadi cara adalah dengan mengecilkan waktu untuk kegiatan yang tidak penting. Bisa pula dengan usaha menjadi lebih disiplin dalam urusan beribadah. Atau bisa saja, cukup dengan pengenalan bahwa bulan Ramadhan tak cuma tentang berbuka puasa dan sahur, tapi juga terkait bagaimana seseorang memutuskan untuk merencanakan hariannya.
Bulan ini hadir hanya satu kali dalam setahun. Namun, kuncinya bukan berapa lamanya bulan suci Ramadan terjadi, tetapi bagaimana kita dapat menghasilkan perubahan signifikan pasca berlalunya.
Sebab ujiannya tak sekadar terdapat sebelum buka puasa, melainkan juga sesudahnya saat pilihan individu menentukan arah; apakah bulan Ramadhan kali ini cuma lewat begitu saja layaknya tahun-tahun lampau, atau justru bakal menciptakan dampak yang lebih mendalam?
Refleksi!Pena Narr, Belajar Mencoret...
0 Komentar