Restitusi Pajak Melesat Hingga Rp 111,04 Triliun: Ahli Tunjuk Penyebab Utamanya

Laksamana.id.CO.ID-JAKARTA . Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa terjadi kenaikan signifikan dalam penerimaan pengembalian pajak atau istilahnya restitusi pajak sampai bulan Februari tahun 2025. Data menunjukkan bahwa jumlah restitusi yang dicairkan pada periode tersebut telah mencapai angka sebesar Rp 111,04 triliun.

Berdasarkan data dari Laksamana.id, jumlah tersebut meningkat sebesar 93,11% jika dibandingkan dengan periode serupa di tahun sebelumnya yang mencapaiRp 57,5 triliun.

Berdasarkan jenis pajaknya, realisasinya mayoritas terdiri dari restitusi pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) yang mencapai Rp 86,31 triliun. Di samping itu, ada pula restitusi pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29 untuk badan usaha senilai Rp 22,96 triliun.

Syafruddin Karimi, pakar ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), menyatakan bahwa kenaikan dalam hal pengembalian pajak ini mencerminkan peningkatan jumlah perusahaan yang memohon untuk mendapatkan pengembalian dana karena adanya overpayment pada periode tahun lalu.


Phenomenon ini diakibatkan olehperlambatanekonomi,penurunanhargakomoditi,danpenguatantekanankepadanganlikuiditaskanbisnisdiperparah.Olehkarenaitu,bisnismenjadilebihaktiftidakmemanfatkinmekanismerestitusiuntukmembenarkiaruskasmereka.
Correction:
This should be corrected for better readability:
"Phenomenon ini disebabkan oleh perlambatan ekonomi, penurunan harga komoditas, dan penguatan tekanan kekurangan likuiditas pada sektor bisnis diperburuk lagi. Oleh karenanya, bisnis menjadi lebih aktif tidak mungkin memanfaatkan mekanisme restitusi untuk membenarkan aliran kas mereka."
The correct version would actually be:
"Fenomena ini terjadi akibat perlambatan ekonomi, turunnya nilai barang dagangannya, ditambah dengan kesulitan dalam hal cairan usaha yang tambah parah. Sehubungan itu saja, perusahaan jadi sangat rajin menggunakan sistem pengembalian pajak demi mengoreksi kondisi alirannya."

"Pemerintah harus bersiap untuk kenaikkan tersebut dengan menjamin bahwa pendapatan kotor dari pajak tetap stabil sehingga pengembalian dana yang bertambah tidak merusak kestabilan fiskal atau menciptakan hambatan dalam mencapai sasarannya terkait penerimaan nasional," ungkap Syafruddin kepada Laksamana.id.co.id, Minggu (16/3).

Reimbursement Pajak Meningkat Tajam, Capai Rp 111,04 Triliun Hingga Februari 2025

Dari seluruh dana yang direstitusi, sebagian besar berasal dari pengembalian pajak penjualan domestik (PPN DN) dan pajak pendapatan badan usaha (PPh). Menurut Syafruddin, kedudukan keduanya menunjukkan bahwa banyak perusahaan berskala besar, terutama di bidang manufaktur, ritel, serta tambang, telah membayar lebih untuk pajak mereka dengan angka yang cukup tinggi secara keseluruhan.

Dia menjelaskan bahwa restitusi PPN DN muncul lantaran perusahaan dengan volume transaksi besar mempunyai pembayaran pajak masukan yang lebih tinggi daripada pajak keluarnya, ini sering terlihat ketika perekonomian sedang lesu.

Di sisi lain, restitusi PPh Badan menggambarkan perkiraan keuntungan yang berbeda dari kondisi riil, menyebabkan pembayaran pajak melebihi tanggung jawab seharusnya.

Tren tersebut menunjukkan adanya tekanan finansial dalam sektor bisnis. Perusahaan-perusahaan menjadi lebih agresif dalam mengklaim restitution untuk meningkatkan likuiditasnya, demikian penjelasannya.

Apabila kenaikan restitution pajak ini terus berlangsung tanpa ada pertumbuhan pendapatan kotor yang proporsional, hal tersebut bisa mengecilkan pendapatan bersih dari pajak serta berpotensi melebarkan defisit anggaran pemerintahan.

Penyebab peningkatan restitusi pajak

Syafruddin menjelaskan sebab meningkatnya restitusi pajak tersebut. Alasannya pertama adalah karena adanya pembayaran pajak berlebih disebabkan oleh proyeksi laba yang sangat optimistis, membuat banyak perusahaan menyetorkan pajak dengan mengacu pada perkiraan laba yang melebihi hasil nyata.

Kedua, perlambatan ekonomi yang menghambat perkembangan usaha sehingga mengekang kapabilitas perusahaan untuk meraih sasaran pendapatan.

Ketiga, pengurangan nilai komoditas, khususnya di sektor pertambangan dan energi, menghasilkan penurunan keuntungan.

Keempat, tekanan likuiditas karena suku bunga tinggi mendorong perusahaan untuk mencari metode agar dapat memaksimalkan aliran kas mereka. Salah satu caranya adalah dengan mengajukan restitusi pajak.

Terakhir adalah peluncuran Sistem Coretax yang mulai berfungsi secara resmi pada 1 Januari 2025. Sistem baru ini meringankan prosedur pengembalian pajak, menyebabkan peningkatan signifikan dalam jumlah wajib pajak yang mengajukan klaim restitusi dengan nilai besar.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhan restitusi pajak sebesar 18,8% sepanjang tahun 2024.

Syafruddin menegaskan bahwa apabila pemerintah tak secepatnya melakukan tindakan preventif, misalnya dengan meningkatkan pemantauan atas restitusi serta meluaskannya ke segmen pajak yang lebih luas, potensi kenaikan restitusi bisa menyebabkan penurunan pendapatan pajak bersih dan merusak stabilitas fiskal dalam waktu lama.

Tanda-tanda situasi keuangan pada awal tahun

Menurut dia, peningkatan klaim pengembalian pajak ini menunjukkan masalah besar yang dijumpai sektor bisnis di awal tahun 2025.

Sebab itu, perusahaan enggan melaksanakan restitusi secara signifikan apabila mereka telah mempunyai aliran dana yang sehat serta profitabilitas yang konsisten. Kenaikannya merujuk pada fakta bahwa berbagai usaha sedang mendapati beban karena perkiraan finansial tak cocok dengan kondisi riil di pasaran.

Beberapa faktor penting yang berkontribusi pada situasi tersebut meliputi perlambatan perekonomian, penurunan nilai barang dagangan, dan kekurangan cairan finansial di saat tingginya tingkat suku bunga.

Apabila perekonomian berkembang dengan pesat, perusahaan harus lebih menekankan pengembangan usaha mereka bukan berfokus pada upaya mendapatkan kembali pembayaran pajak yang sudah dilakukan.

Syafruddin mendorong agar pihak berwenang mempertimbangkan tanda-tanda tersebut secara hati-hati dan langsung merancang kebijakan penting guna menghadapiperlambatan ekonomi.

Berikut beberapa tindakan yang bisa diambil seperti menambah kemampuan pembelian publik, mengakselerasi pengeluaran pemerintah, dan merancang kebijakan pajak yang lebih fleksibel untuk memastikan pertumbuhan ekonomi terus berlanjut dengan stabil.

0 Komentar