
Catatan Editor: Untuk melindungi keselamatan narasumber dalam artikel ini, kami memutuskan untuk merahsiaikan identitas mereka.
==========
"Saya" akhirnya jadi lebih berwaspada ketika bersosialisasi secara online baru-baru ini. Beberapa minggu terakhir, diriku beserta kawan-kawan yang melanjutkan pendidikan di luar negeri tengah diperhatian sejumlah pihak. Hal itu muncul sesudah "Saya" dan rombongan menggelar Aksi Kamisan di negeri asing tempat kami menempuh pembelajaran.
"Pada awalnya, kira-kira 2 sampai 3 orang menanyakan kepada kami tentang 'Siapa yang mendirikan Aksi Kamisan? Di manakah lokasi kegiatannya?' Namun, kami tidak menjawab pertanyaan tersebut karena nomor mereka tak dikenali. Setelah memeriksa dengan aplikasi Get Contact, ternyata beberapa dari nomor-nomor itu terdaftar sebagai milik pihak berwenang seperti polisi atau tentara," ungkap I kepada Tirto , Senin (24/3/2025).
Saya jelaskan pula bahwa beberapa temannya menerima pertanyaan dari KBRI atau KJRI mengenai rincian aktivitas mereka. Ada kalanya, dalam suatu acara Kamisan, tim pengawalan asing datang menemui mereka saat melakukan protes di negeri orang tersebut.
" Dia pun seorang mahasiswa, namun kami memang belum memberi tahu dirinya tentang aksi ini," jelas I.
Banyak kelompok mahasiswa asli Indonesia yang berada di luar negeri telah memulai pembentukan organisasi-organisasi informal. Tujuan dari organisasi tersebut adalah untuk mendiskusikan masalah-masalah kesejahteraan sosial serta mengambil perhatian pada isu-isu penting yang sedang terjadi di negara asal mereka. Namun sayangnya, serupa dengan narasi pertama, mereka pun turut jadi sasarannya bagi pihak-pihak yang disebut sebagai 'otoritas'.
Para pelajar Indonesia dari organisasi berskala lokal di wilayah kampus mereka, selanjutnya mengembangkan jaringan dan menciptakan gerakan. Gerakan ini tidak hanya hadir di satu negara saja, tetapi juga menyebar ke beberapa negeri lain.
Para ahli dari negeri-negeri lain tersebut bertujuan untuk mendistribusikan kabar tentang situasi di dalam negeri. Sebagai contoh, mereka membagikan ringkasan mengenai protes terhadap usulan perubahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mana kegiatan ini berujung dengan keributan pada tanggal 20 Maret 2025.
Mereka mengonversi data tentang peristiwa di Indonesia ke berbagai bahasa global supaya masyarakat dunia dapat memahami situasi yang berkembang di sini.
Pada awalnya, lembaga yang saya ikuti bertujuan sebagai wadah dialog bagi masyarakat Indonesia guna menyebarluaskan berita kepada publik. Akan tetapi, sejumlah peristiwa terkini di dalam negeri mewujudkan dorongan bagi mereka untuk merintis sebuah gerakan.
Akan tetapi, gerakan tersebut sangat percaya bahwa pertempuran masih belum berakhir. Karena setelah peninjauan ulang terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia disetujui menjadi undang-undang, isu tentang rencana untuk mengevaluasi kembali Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia pun mencapai pendengaran mereka. Mereka meyakini hal itu dapat membawa ancaman yang lebih besar bagi suasana demokratis di negara kita.
"RUU Polri paling mengkhawatirkan karena jika polisi terlibat di ranah maya, semua orang berpotensi lenyap," jelas "I".
Berbuahkan Kekerasan dalam Dunia Maya
Bukan hanya ditargetkan pada bagian-bagian dari gerakan protes di dalam negri, tamparan ternyata juga menimpa para Diaspora Indonesia yang kritis.Sampai sekarang, I dan teman-temannya belum menemui hal-hal yang membuat mereka cemas. Tetapi, beberapa kelompok pelajar Indonesia di luar negeri telah menerima kunjungan dari pihak berwajib ketika sedang melaksanakan pertemuan diskusi. Lebih lanjut lagi, ada juga individu yang merasakan ancaman dalam lingkup daring.
"Ini tempat di mana atmosfernya lebih mengarah pada serangan cyber dan usaha pemerasan dari berbagai pihak, seperti melalui grup WhatsApp," jelas N, salah satu warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Menurut N, seorang dari anggotanya diduga telah mencoba meretas atau mengumpulkan data melalui metode menyebarluaskan tautan spesifik tersebut.
"Mereka sepertinya benar-benar ingin menggertak supaya bisa mendemoralisasikan komunitas mahasiswa," jelas N.
Beruntungnya, mekanisme perlindungan informasi pribadi di universitas tempat N belajar sudah cukup canggih dalam menghalau usaha perampokan data mahasiswa.
Bukan tujuannya menimbulkan ketakutan, N menyebutkan bahwa usaha-serangan-digital tersebut malahan mendorong organisasi diasporanya untuk meningkatkan kemampuan dalam pencegahan peretasan. Mereka berupaya melakukan hal ini. workshop menguatkan keamanan serta mencegah serangan digital.
Pada saat bersamaan, saya tidak menyangkal bahwa sebagian dari rekan-rekan mahasiswa yang pergi untuk belajar menggunakan beasiswa LPDP merasakan ketakutan tertentu. Kekhawatiran mereka adalah kemungkinan pencopotan beasiswa sehingga menghalangi kelanjutan pendidikan mereka.
Walaupun begitu, tekad dari para perantauan Indonesia dalam demonstrasi menentang keputusan pemerintah yang tidak pro-rakyat pada dasarnya tetap kokoh.
Citra Internasional Masih Penting
Ketua Center for Communication Studies, Media, and Culture dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, menyambut positif aktivisme para mahasiswa pelajar di luar negeri yang berkomitmen pada masalah-masalah domestik. Dia merasa bahwa usaha mereka cukup berhasil.Apapun wujudnya, baik itu hanya dengan menyebarinformasi hingga menggelar protes, semua ini dapat membuka pikiran masyarakat di seluruh dunia.
"Aksi yang diambil oleh mahasiswa Indonesia di luar negeri sangat baik. Hal ini merupakan bentuk protes yang cukup ampuh mengingat pemerintah tetap memperhatikan reputasi mereka di mata internasional," ungkap Kunto kepada Tirto , Senin (24/3/2025).
Menurut Kunto, tingkat kemanjuran tindakan para mahasiswa di luar negeri dapat dilihat melalui ancaman atau usaha serangan digital yang dialami oleh mereka. Ini menggambarkan adanya kelompok dalam kekuasaan yang merasa terganggu oleh aktivitas protes tersebut.
Mengapa hal ini menjadi semacam kekhawatiran yang berlebihan? Sebab sang pemimpin masih menginginkan untuk tetap tampak kuat. role Besar di luar negeri," jelas Kunto.
Selanjutnya, pemerintah saat ini tetap sangat menantikan masuknya modal asing, khususnya setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pernah anjlok beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, mereka memiliki kepentingan dalam memelihara imej Indonesia sebagai tempat yang aman agar para investor merasa tertarik.
Kunto juga mengkritik usaha "pencensoran" yang dilakukan pemerintah terhadap kegiatan organisasi mahasiswa asing. Menurut dia, tindakan seperti itu malah dapat mendorong resistensi yang lebih besar.
Rizky Argama, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), turut menyampaikan pandangan yang sejalan. Ia memberikan apresiasinya terhadap langkah organik dari diaspora beserta dengan para pelajar Indonesia yang berada di negara lain.
Menurut Rizky, tindakan-tindakan yang diambil oleh para diaspora tersebut menggambarkan bahwa mereka sangat peduli dengan keadaan negara asal mereka.
Selanjutnya, Rizky menyatakan bahwa metode keamanan yang diterapkan untuk mengurangi aktivitas para perantau tersebut sebenarnya tidak tergolong sebagai sesuatu yang baru.
Usaha seperti itu—tetapi dengan pendekatan yang berbeda—telah dicoba sebelumnya guna menenangkan keluhan-keluhan dari para warganet terkait diskusi UU Cipta Kerja tahun 2020. Saat itu, otoritas mencoba metode intelijen serta pengawasan awal untuk menghentikan dan memadamkan demonstrasi.
Melalui pengawasan daring di platform media sosial, selanjutnya muncullah narasi balasan terhadap pesan yang mencemarkan nama baik pemerintahan.
"Oleh karena itu, saat ini apa yang berlangsung? Bagaimana polisi ataupun tentara mengejar mahasiswa baik di dalam maupun di luar negeri—ini merupakan metode umum yang digunakan pemerintah ketika mereka merespons kritikan atas cara pembuatan kebijakan-kebijakan kontroversial," ungkap Rizky.
Secara keseluruhan, menurut Rizky, masyarakat yang dulunya bersifat apolitik semakin banyak yang termotivasi untuk peduli. Pelbagai kelompok seperti siswa sekolah menengah, fans olahraga sepak bola, praktisi seni, hingga pecinta K-Pop saat ini dengan lugas memperlihatkan ketertarikan mereka pada masalah-masalah politik.
Menurut Rizky, hal tersebut merupakan suatu aspek positif untuk mengembangkan iklim demokrasi di Indonesia.
"Harapannya hal ini akan menambah tenaga. Agar terbentuk sebuah kekuatan bersama yang semakin kokoh. Dengan begitu, setiap tindakan pemerintah senantiasa dikontrol oleh publik secara luas. Keberadaan kekuatan bersama tersebut, melalui soliditas yang meningkat, dapat mendampingi serta memandu proses penyusunan keputusan dan aturan di masa depan," jelas Rizky.
Kekuatan gabungan ini pun berkembang dalam pergerakan diaspora Indonesia di luar negeri. Dia menyebutkan bahwa jumlah anggota atau pendukung suatu organisasi atau gerakan semakin meningkat dari hari ke hari. Orang-orang yang dulunya merasakan ketidaknyamanan sendiri, pada akhirnya mendapatkan tempat untuk saling membagikan keprihatinan bersama-sama.
Orang-orang yang pada mulanya cuek pun secara bertahap menjadi lebih tertarik untuk mengeksplorasi dan mengerti masalah-masalah di dalam negara serta isu-isu global yang berkaitan dengan Indonesia.
"Yang paling menggetarkan adalah mereka yang pada mulanya ragu untuk berkata apa adanya—karenai status sebagai penerima bantuan atau ketakutan akan tanggapan lembaga, khususnya bagi mereka dengan posisi PNS—sekarang menjadi lebih percaya diri dan giat dalam menyuarakan pendapat. Mereka merasa bukan hanya sebatas individu," ungkap N.
Oleh karena itu, di luar pengaruhnya yang terlihat dari luar dalam membentuk perhatian masyarakat umum, gerakan diaspora pun menghasilkan lingkungan yang aman dan mendukung bagi para diaspora lainnya untuk saling belajar, bertanya, serta berkarya bersama-sama.
0 Komentar