
cimporong.com, JAKARTA - Menurut hasil penelitian baru-baru ini oleh Bank Dunia, performa dalam mengumpulkan pajak di Indonesia dinilai cukup rendah. Saran yang diberikan adalah bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya mulai memberlakukan pajak pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta kegiatan ekonomi informal.
Pernyataan serta anjuran-anjurannya termuat di dalam laporan penelitian Bank Dunia yang berjudul Mengestimasi Selisih Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Badan (PPh badan) di Indonesia yang diluncurkan pada 3 Maret 2025.
Penelitian itu mengevaluasi tingkat kepatuhan terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan pada badan usaha (PPh Badan) di Indonesia untuk periode tahun 2016 hingga 2021. Temuan studi ini mengungkap ukuran dari celah pajak ( taxp-gap). tax gap ) mengakibatkan tingkat efisiensi pengumpulan dari kedua sumber utama pendapatan pajak itu sangat rendah.
Laporan Bank Dunia: Indonesia Kelewat Rugi Rp944 Triliun dalam Potensi Pajak Tahun 2016-2021
World Bank juga mengungkap bahwa performa penagihan pajak oleh pemerintah Indonesia tergolong sangat rendah. Sebagai contohnya, pada tahun 2021, tingkat perpajakan di Indonesia baru mencapai angka 9,1%.
Rasio pajak di Indonesia berada di bawah tingkat negara-negara tetangga seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%). Menurut laporan Bank Dunia, hal ini menjadikan Indonesia memiliki salah satu rasio pajak terrendah secara global.
: Bank Dunia Buka Kemungkinan Mencabut Pembatasan Pendanaan Energi Nuklir
Bank Dunia menyatakan bahwa salah satu alasan penerimaan PPN dan PPh Badan di Indonesia belum optimal adalah disebabkan oleh besarnya ambang batas untuk memungut pajak dari UMKM atau usaha mikro, kecil, dan menengah.
Tentu saja, baru perusahaan dengan pendapatan bruto melebihi Rp4,8 miliar yang harus mengumpulkan PPN dan membayar PPh Badan.
: Langkah Menghitung Pajak THR Tahun 2025 serta Contoh-contohnya
World Bank mencatat bahwa ambang batas yang terlalu tinggi membuat banyak perusahaan tidak tertutup oleh sistem pajak. Di samping itu, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kurang mendapat pengawasan sehingga dapat memicu peningkatan keteledoran dalam pelaporan pajak resmi.
"Menurunkan tingkat ambang batas bersama dengan penerapan pelarangan undang-undang terkait perkumpulan bisa mengecilkan perbedaan antara pendapatan teoretis dan aktual dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh)," demikian tertulis di laporan World Bank itu, seperti dilansir pada hari Rabu (26/3/2025).
Di samping itu, Bank Dunia mengamati bagian dari kegiatan ekonomi di bawah tanah ( underground economy Di Indonesia, ukuran sektor ekonomi gelap cukup signifikan dan dapat menyumbang antara 17,6% sampai 21,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kendalanya adalah bahwa kegiatan ini tidak terekam dalam sistem pengawasan pajak resmi.
Karena itu, Bank Dunia mengusulkan supaya pemerintah perlu memperbesar jangkauan informasi terhadap semua aktivitas ekonomi melalui penggunaan data dari sumber luar guna meningkatkan pelaksanaan ketaatan wajib pajak.
"Para wajib pajak yang belum terdaftar dalam sistem—terutama UMKM dan sektor-sektor yang saat ini bebas dari pajak—perlu dimasukkan ke dalam laporan PPN dan PPh agar dapat secara menyeluruh diserap kedalam struktur sistem pada periode selanjutnya," demikian bunyi catatan Bank Dunia.
Selanjutnya, data yang dihasilkan oleh Bank Dunia mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia merugi dari potensi pendapatan pajak sebesar mencapaiRp944 triliun pada periode antara tahun 2016 sampai dengan 2021.
"Bank Dunia memperkirakan bahwa selisih antara PPN dan PPh Badan umumnya mencapai sekitar 6,4% dari PDB atau setara denganRp944 triliun untuk jangka waktu 2016 sampai 2021," demikian tertulis dalam laporannya yang dirujuk pada hari Rabu (26 Maret 2025).
Sebenarnya, PPN dan PPh Badan yang menjadi penyumbang terbesar dari pendapatan pajak di Indonesia belum berjalan dengan optimal.
Bank Dunia mengungkapkan bahwa kesenjangan ratarata antara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) teoretis dan yang sesungguhnya telah terbayarkan merambah hingga 43,9%, atau sama dengan 2,6% Produk Domestik Bruto (PDB), dalam kurun waktu 2016 sampai 2021. Jumlah absolut ini mewujud menjadi kira-kira Rp386 triliun.
Untuk PPh Badan, rata-rata perbedaan antara jumlah yang harusnya dibayarkan dan yang sebenarnya telah dibayarkan adalah sekitar 33%, atau berjumlah 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode 2016 sampai 2021. Secara nilai tunai, kesenjangan ini mewakili total Rp160 triliun.
"Kondisi tersebut bisa dipengaruhi oleh gabungan beberapa elemen seperti tingkat kesesuaian yang rendah, tarif pajak efektif yang cukup rendah, serta cakupan perpajakan yang terbatas," demikian tertulis dalam laporan Bank Dunia.
0 Komentar