
cimporong.com, JAKARTA — Profesor dari Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, mengecam pelucutan larangan terhadap obyek pajak berdasarkan pendapatan yang berasal dari dividen.
Haula merasa bahwa sistem perpajakan di Indonesia belum sepenuhnya adil. Ia memberikan contoh bahwa sampai sekarang pendapatan individu dari sumber dividen tidak dikenakan pajak.
Peraturan tersebut tertulis di Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dan kemudian ditegaskan lagi di Pasal 4 ayat (3) huruf f dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Rasio Pajak di Indonesia Rendah, Profesor dari UI Mendorong Terbentuknya Lembaga Penerimaan Keuangan Negara
Menurut UU HPP, pendapatan yang diperoleh dari dividen akan tidak dikenakan pajak jika diputarkan kembali ke dalam investasi di Indonesia.
Permasalahan utamanya, Haula menyatakan bahwa sejak dulu para elit ekonomi telah menggunakan lubang hitam hukum tersebut. Misalnya saja bila dividen digunakan untuk pembelian logam mulia seperti emas batangan, hal itu pun terhitung sebagai bentuk investasi.
: Pemerintah Provinsi Banten Menghapus Denda Pajak Kendaraan Bermotor, Berikut Jadwalnya
"Hal itu berarti orang-orang kaya benar-benar akan makin kaya lagi," kata Haula kepada Bisnis , dikutip Sabtu (29/3/2025).
Selain itu, lanjut dia, investasi pada emas tidak memberikan dampak signifikan terhadap mayoritas masyarakat karena tidak merangsang sektor nyata. Dengan kata lain, jenis investasi tersebut tidak akan membuka lapangan kerja baru.
: Rincian Laporan World Bank Tentang Perpajakan di Indonesia, Ratusan Triliun Tidak Diambil Sesuai Aturan
Wanita profesor dalam bidang perpajakan yang menjadi yang pertama di Indonesia menggarisbawahi bahwa apabila pemerintahan ingin meluaskan cikal bakal pendapatan pajak, mereka juga wajib fokus pada kelompok dengan penghasilan tinggi—not hanya kalangan menengah ke bawah.
"Perhatikan hal tersebut, bagaimana jika wajib pajak yang sangat berkelimpahan harta benar-benar telah dikenakan pajak secara proporsional, sejalan dengan kekuatan finansial mereka," ungkap Haula.
Dia juga mengecam diskusi tentang penurunan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) di Indonesia, sebagaimana baru-baru ini diajukan oleh Bank Dunia serta Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Saatinya, cuma badan usaha yang punya pendapatan bruto lebih dari Rp4,8 miliar per tahun saja yang harus mengumpulkan pajak penambah nilai (PPN) serta melunasi pajak untuk laba (PPh Badan).
Meskipun begitu, Bank Dunia serta OECD menilai bahwa ambang batas itu terlalu tinggi yang pada akhirnya membuat pendapatan pajak di Indonesia menjadi tidak optimal.
Haula mencatat bahwa kurang optimalnya pengumpulan pajak di Indonesia belakangan ini tak semata-mata disebabkan oleh ambang batas PPNBM. Dia menegaskan, baik Bank Dunia maupun OECD sepertinya mengabaikan fakta bahwa pihak berwenang telah menerbitkan cukup banyak insentif pajak yang ditujukan untuk kalangan investor dan pemilik aset besar seperti tax holiday (pembebasan pajak) hingga tax allowance ( pengurangan beban pajak).
Karena itu, ia berpendapat bahwa World Bank dan OECD sepertinya hanya menganjurkan kepada pemerintah Indonesia untuk fokus pada segelintir orang tetapi meninggalkan kelompok yang lebih makmur.
Selain itu, lanjut dia, dari segi Administrasi akan cukup rumit jika mengurangi ambang batas Pajak Pertambahan Nilai (PKP). Apabila jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terkena pajak bertambah, maka badan pengawasan pajak pun perlu mempersiapkan diri untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat tersebut.
Prinsip-prinsip akuntansi perlu dipahami oleh mereka. Jika kita laksanakan sebuah survey pada UMKM sekarang ini, berapakah presentase dari UMKM tersebut yang memahami hal itu? accounting? Mungkin dia aja enggak Haula menjelaskan tentang konsep debit dan kredit.
Dia juga cemas bahwa kesadaran akan ketaatan perpajakan bisa berkurang secara signifikan. Ambang batas PKP dikurangi.
0 Komentar