Keseimbangan yang Hilang: Fokus pada Pertumbuhan Jiwa Tanpa Mengatasi Kebutuhan Emosi dan Mental

Bahkan hampir semua orang percaya bahwa Ramadlan merupakan waktu bagi pembangunan diri—saatnya meningkatkan ibadah, menambah kebaikan, serta menyempurnakan koneksi spiritual dengan Allah. Akan tetapi, salah satu elemen vital kerap kali luput dari fokus saat proses pertumbuhan pribadi di Bulan Suci ini yaitu kesejahteraan emosi dan psikis.

Apakah ada poin-poin tertentu yang perlu kita bahas dankritisi terkait itu? Banyak di antara kita saat bulan Ramadhan sangat sibuk dengan segi-segi spiritual seperti menyelesaikan Al-Quran beberapa kali, meningkatkan shalat-sunah, atau menghadiri beragam kajian—sampai akhirnya melupakan bahwa semangat Ramadhan bukan cuma soal ritual keagamaan, tapi juga kendali diri atas aspek-aspek emosi.

Artinya adalah bahwa melepaskan rasa lapar dan dahaga dapat diatasi dengan mudah, terutama oleh orang-orang yang masih muda dengan kondisi fisik yang baik. Tetapi, apa tentang kemampuan untuk menahan marah, mengontrol egomu, atau meredam emosi negatif? Sebenarnya, hal-hal ini merupakan aspek kunci dalam proses perkembangan diri secara nyata.

Pada dasarnya, berpuasa bukan hanya berkaitan dengan rasa lapar, tetapi lebih pada pengendalian diri.

Banyak riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mensyiarkan bahawa berpuasa lebih dari sekedar menahan lapar dan dahaga; itu pula mencakup pengendalian diri terhadap ucapan dan tindakan buruk.

"Siapun yang tidak menyingkirkan ucapan palsu dan tindakan negatif, maka Allah tidak memerlukan dia untuk berhenti dari makanan dan minumannya." (HR. Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa meski seseorang mungkin berhasil berpuasa dari segi fisik, tapi kalau dia masih gampang tersulut emosi, suka membicarakan orang lain, atau bertindak tidak sopan, maknanya sebagai seorang yang berbakti kepada Tuhan akan jadi lebih redup. Walaupun banyak individu mengerti tentang hal tersebut, mereka kerapkali tergelincir di dalam tindakan seperti itu. Ungkapan biasa semacam 'eh, lagi puasa kok malah bergosip nanti batal,' acap kali didengungkan bahkan saat pembicaraan negatif tengah berlangsung selama bulan Ramadhan.

Ironisnya, selama bulan Ramadhan, kita malah kerap menyaksikan kenaikkan emosi negatif. Dimulai dengan individu yang gampang marah akibat lelah, para pemudik yang menjadi lebih agresif di jalan sebelum buka puasa, sampai kurang kesabarannya saat mengantre untuk mendapatkan makanan atau belanja perlengkapan Ramadhan. Hal ini tentunya disebabkan oleh situasi fisik yang tengah menahan rasa lapar dan haus, ditambah lagi dengan suhu udara panas di luar ruangan.

Apabila kita tetap membiarkan emosi negatif mendominasi diri saat bulan Ramadhan, bisakah dikatakan bahwa kita sungguh-sungguh berkembang? Bisa jadi yang terjadi hanyalah pergantian rasa puas—dari kesenangan makan berubah menjadi kepuasan mengekspresikan egosentris lewat metode lainnya?

Mengapa Pentingnya Kesehatan Emosional Sering Dilupakan?

Banyak orang menafsirkan pengembangan diri selama bulan Ramadhan sebagai peningkatan dalam ibadah, amalan, serta doa saja. Namun demikian, pembinaan diri yang seimbang tidak hanya itu; ia juga mencakup introspeksi tentang emosi negatif dan kebiasaan-kebiasaan merugikan yang mungkin masih dipertahankan. Meskipun fokus ekstra pada praktik religius sangat baik, perlu ada kesadaran untuk membaginya dengan cara-cara lain seperti meningkatkan kesejahteraan psikologis demi keseimbangan total.

Seringkali kita tak sadar tentang cara kerja emosi kita saat bulan Ramadhan. Kekhawatan akibat kekurangan istirahat, desakan untuk mencapai sasaran berdoa yang besar, serta tekanan sosial dapat menjadikan kita lebih sensitif dan cemas. Akan tetapi, sebab konsentrasi kita cuma tertuju pada ritual ibadah saja, kita melewati pengakuan akan adanya komponen emosional yang juga memerlukan penataan. Para ahli pun menegaskan hal ini berkaitan pula dengan minimnya kesadaran diri atas kondisi emosional, suatu elemen vital yang sering diabaikan.

Banyak individu bermaksud untuk melakukan perubahan besar-besaran saat bulan Ramadhan—mengejar derajat ketaqwaan yang luar biasa dalam periode yang sempit. Sebagai akibatnya, mereka cenderung melupakan dimensi-dimensi psikologis yang lebih mendalam, misalnya tentang cara merawat kesabaran, ketenangan pikiran, serta pembentukan disiplin diri dengan cara yang bertahap.

Ramadan sering kali dilihat sebagai saat untuk perubahan instan; ketika aktivitas religius digalakkan namun tidak dibarengi dengan persiapan mental yang memadai, hal itu dapat memiliki dampak negatif terhadap aspek psikologis dan emosi. Walaupun demikian, sudut pandang tersebut mungkin mudah dipertanyakan.

Sebetulnya Islam begitu mengutamakan keterampilan pengaturan emosi. Nabi Muhammad SAW merupakan teladan sempurna dalam hal ini—dia dikenal karena kesabaran, rasa cinta yang mendalam, serta kemampuan untuk tetap tenang di saat-saat sulit. Akan tetapi, biasanya kita lebih banyak mencontoh cara beribadahnya saja tanpa sepenuhnya memahami metode-metode dia menggunakan untuk meredam emosinya dalam aktivitas sehari-hari.

Kekurangan pengetahuan mengenai Kecerdasan Emosional dalam konteks Islam dapat berimbas pada cara kita berpikir.

Untuk memastikan bahwa Ramadan betul-betul menjadi momen pengembangan diri yang komprehensif, kita perlu menganggapnya sebagai latihan kecerdasan emosional daripada hanya meningkatkan ibadah formal saja.

Bagaimana menciptakan kesetimbangan sehingga Ramadan bisa dijadikan lapak untuk melatih Kecerdasan Emosional?

Apapun itu, sebelum kita dapat mengelola perasaan, kita harus mempelajari cara untuk menyadarinya lebih dulu. Pada bulan Ramadhan ini, coba lakukan introspeksi diri:

Apakah ada hal-hal tertentu yang menyebabkan saya cepat merasa kesal atau terganggu?

Apakah perasaan emosi saya menjadi lebih labil ketika sedang kelaparan atau kelelahan?

Apa respons saya terhadap orang lain yang ada di sekelilingku?

Dengan mengidentifikasi pola emosi kita, kita dapat lebih mudah menanganinya serta mencegah agar perasaan negatif tak lagi mendominasi.

Ramadan merupakan momen ideal untuk mengasah keterampilan menunda kenikmatan demi hal-hal yang lebih berkualitas. Bila kita dapat membendung dorongan untuk memakan atau meminum apapun, maka sebaiknya pula kita sanggup mengontrol emosi negatif. Ini menjadi lapangan praktik bagi ketabahan dan disiplin diri.

Sama seperti ketika kita melakukan manajemen kemarahan, proses tersebut pun dapat diaplikasikan pada masa berpuasa. Beberapa praktik sederhana yang bisa diterapkan adalah sebagai berikut:

Ketika Anda merasa kesal atau frustasi, ambil nafas yang dalam lalu hitung hingga sepuluh sebelum mengambil tindakan apapun.

Apabila merasa terganggu karena ada orang lain, cobalah untuk mengasah rasa simpati Anda dan pertimbangkanlah keadaan tersebut dari perspektif mereka.

Jangan segera menanggapi kata-kata atau perbuatan yang dapat melukai perasaan --- pelajari cara untuk tetap tenang dan memberikan respons dengan pikiran jernih.

Banyak individu mengalami tekanan saat bulan Ramadhan dikarenakan adanya ekspektasi beribadah yang besar. Namun perlu diingat bahwa menjalankan ibadah tidak tergantung pada seberapa banyak ritual dilakukan, melainkan lebih kepada kesinambungan dan keikhlasannya.

Oleh karena itu, kita perlu menjaga keseimbangan dengan hati-hati antara ibadah dan aktivitas sehari-hari, termasuk aspek psikologis kita. Untuk menghindari mengejar tujuan spiritual yang tak terjangkau, hal ini bisa menyebabkan kurang tidur serta membuat mood menjadi labil dan rentan terhadap kemarahan.

Sediakan waktu bagi kegiatan-kegiatan yang memberikan kedamaian, misalnya bercerita tentang sebuah buku favoritmu, meluangkan waktu untuk jalan-jalan singkat di sekitar lingkungan tempat tinggalmu, ataupun bertukar cerita dengan keluarga dan teman dekat. Juga perhatikan bagaimana kamu berinteraksi denga orang lain. Di bulan Ramadhan ini, gunakan momentum tersebut sebagai peluang untuk mengoptimalkan keterampilan komunikasimu. Usahakan bicaramu lebih tenang, fokus pada pendengaran yang tajam, lalu jawab setiap pertanyaan atau situasi dengan rasa sabar yang besar.

Satu hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW mengatakan:

"Siapun yang percaya pada Allah dan akherat, sebaiknya ia mengucapkan hal-hal yang positif atau tidak mengucapkan apa-apa." (HR. Bukhari & Muslim)

Inilah prinsip dasar yang cukup bertenaga untuk mengembangkan kesadaran emosi.

Pertumbuhan pribadi yang sesungguhnya bukan hanya berlangsung di masjid ataupun saat sedang sujud, namun juga melalui bagaimana kita menyeimbangkan emosi serta bersikap kepada oranglain. Bila kita berniat menjadikan Ramadhan sebagai titik balik hidup, maka pergantian tersebut mesti merangkum semua sisi diri --- tak sekadar rohani, tapi juga pikiran dan perasaan.

Pada akhirnya, sasaran utama bulan Ramadhan tidak semata-mata untuk meningkatkan ibadah saja, melainkan juga membentuk individu yang lebih sabar, lebih tenang, serta memiliki hikmah dalam menyongsong hidup. Sebab pada dasarnya, perkembangan personal sesungguhnya tak cuma terletak di pengendalian rasa lapar, namun jauh lebih penting adalah perubahan diri menuju insan yang lebih unggul secara keseluruhan.

0 Komentar