Defisit Anggaran 2025 Makin Lebar, Pemerintah Diminta Bersikap Jujur dan Sigap untuk Koreksi Fiskal

laksamana.id,

Oleh Achmad Nur Hidayat, Seorang Ahli Ekonomi dan Penyusun Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta

Performa awal tahun yang mengecewakan: Apakah Ini Pertanda Krisis Keuangan?

Berdasarkan data yang diawasi dari website Kementerian Keuangan pada hari Rabu (12/03), diterima bahwa pendapatan pajak Indonesia untuk bulan Januari 2025 sebesar Rp 88,89 triliun atau baru mencapai 4,06% dari sasarannya dalam setahun ini memberikan peringatan serius terhadap kestabilan fiskal negara tersebut.

Angka tersebut mengalami penurunan signifikan sebesar 41,86 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023, dan mencatat angka terendah untuk bulan Januari dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini apabila dilihat dari rasio terhadap sasaran APBN tahunan.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya pendapatan pajak bulan Januari biasanya memberikan kontribusi antara 7,5% sampai dengan 9,2% terhadap target seluruh tahun, maka angka 4,06% untuk tahun 2025 mencerminkan adanya potensi ketidakcukupan dalam pengumpulan pendapatan yang signifikan. Apabila kondisi tersebut berlangsung terus-menerus, diperkirakan akan ada kekurangan pendapatan nasional sebesar Rp300 hingga Rp400 triliun, hal ini secara langsung dapat memperlebar defisit.

Kajian internal kami bahkan memprediksi, bila tidak ada langkah koreksi fiskal yang konkret dan sistemik, defisit APBN 2025 dapat mendekati Rp800 triliun atau sekitar tiga persen PDB. Ini lebih buruk dari prediksi Goldman Sachs yang baru memperkirakan defisit 2,9 persen PDB.

Perlu dicatat bahwa Goldman Sachs, sebuah institusi keuangan terkemuka global, telah meramal defisit Indonesia mungkin akan mencapai antara 650 hingga 750 triliun rupiah, dan ramalan tersebut umumnya menjadi acuan. baseline dianggap realistis oleh investor global.

Coretax: Di antara Ambisi Modernisasi dan Kenyataan Gagalnya Sistem

Menurut saya, pengurangan pendapatan pada bulan Januari dapat ditafsirkan dalam dua cara. Arti pertama adalah menunjukkan perlambatan kegiatan ekonomi sebenarnya masyarakat, sedangkan arti kedua merupakan indikator adanya masalah dalam sistem Administrasi Perpajakan yang disebabkan oleh Coretax.

Perlu diterima fakta bahwa salah satu penyebab utama penurunan pendapatan pajak adalah masalah dalam pelaksanaan Coretax, yaitu sistem manajemen perpajakan yang dirilis pada tanggal 1 Januari 2025. Bahkan ironinya, aplikasi yang dipromosikan untuk memperbaiki kinerja dan pengumpulan uang pajak malah menjadi hambatan signifikan. Berbagai Wajib Pajak (WP) meresahkan karena mereka kesulitan menyelesaikan pembayaran, laporan, bahkan mengambil layanan dasar terkait pajak dikarenakan adanya kerusakan pada Coretax.

Pernyataan resmi dari pihak berwenang sampai saat ini kurang detail dan tampak seperti mencoba untuk mengelabui tentang situasi inti. Sementara itu, Coretax ternyata merusak jalannya sistem Administrasi Perpajakan, menyebabkan pendapatan yang harus direkam di bulan Januari menjadi telat atau bahkan tidak terserahkan sama sekali kepada kantong negara. Hal ini lebih besar daripada hanya soal teknikal; ini adalah pertanyaan pokok yang bisa membahayakan stabilitas finansial negeri.

Bila sistem perpajakan mengalami keterbatasan dalam bekerja dengan baik, sumber pendapatan negara akan terhambat, sehingga pemerintah kesulitan mencari ruang fiskal untuk melaksanakan proyek-proyek utama mereka. Di Indonesia, dimana pengeluaran sosial seperti bantuan sosial, subsidi energi, sampai program popular semacam sarapan sekolah sangat bertumpu pada hasil dari pembayaran pajak, maka ketidakberdayaan Coretax bisa menimbulkan dampak yang signifikan bagi stabilitas sosial dan kondisi ekonomi negeri ini.

Perkiraan Performa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Bulan Februari: Semakin Terpencar

Merespon seputar perkiraan laporan Proyeksi Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) KiTa Edisi Februari 2025 yang bakal diumumkan hari Kamis nanti, diyakini bahwa performa APBN bulan tersebut mungkin belum membaik dan berpotensi jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pada Januari.

Kenapa begitu? Karena Coretax belum benar-benar membaik sesuai dengan beberapa catatan dari lapangan sampai pertengahan Maret 2025. Dengan pendapatan pajak di Januari baru mencapai Rp88,89 triliun, sangat tidak mungkin untuk Februari dapat mengatasi keterlambatan pembayaran pajak sambil tetap mencapai target bulanan mereka.

Apabila kondisi febuari masih lesu, maka kedua bulan pembukaan tahun 2025 ini bakal mencatatkan pendapatan pajak terendah dalam dua puluh tahun belakangan, mengindikasikan permulaan defisit keuangan negara yang signifikan.

Hanya Bea Cukai Tidak Cukup untuk Mendukung Kebijakan Keuangan

Tentu saja, pendapatan Bea Cukai pada bulan Januari 2025 tercatat senilai Rp26,29 triliun, mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Akan tetapi, bagian kontribusi dari bea cukai baru berkisar antara 15% dari keseluruhan sistem perpajakan di tanah air. Ini berarti bahwa walaupun bidang tersebut meningkat, masih belum dapat memperbaiki defisit akibat penurunan signifikan dalam sektor pajak lainnya.

Kami sadar bahwa rasio pajak di Indonesia terbilang rendah, hanya sekitar 10,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga bergantung cukup banyak pada pendapatan pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta sektor dalam negeri. Sistem manajemen perpajakan seperti Coretax menjadi penting untuk diterapkan. error , penerimaan negara otomatis utamanya terpengaruh, yang kemudian secara langsung akan mengurangi likuiditas APBN.

Dampak ke Defisit serta Ekonomi Makro: Apakah Realistis Atau Malah Pesimistis?

Proyeksi defisit 2,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Goldman Sachs tetap dianggap sebagai estimasi yang cukup positif, asalkan didukung dengan perbaikan signifikan. Menurut perkiraan kita pada bulan Januari 2025 kemarin, jumlah kekurangan hingga mencapai Rp800 triliun atau mendekati tiga persen PDB merupakan gambaran nyata bila kondisi ini dibiarkan lanjutan tanpa adanya penyelesaian tepat waktu.

Selain itu, berdasarkan janji kampanye Presiden Prabowo-Gibran yang bergantung pada pengeluaran besar-besaran, khususnya di sektor sosial dan pangan, kesempatan untuk mengurangi anggaran semakin sempit karena batasan dalam ruang fiskal.

Di sisi lain, pinjaman tambahan untuk mengatasi kekurangan anggaran akan semakin berbiaya tinggi, sebab pasar surat hutang telah mulai memberikan respons negatif terhadap penurunan pendapatan negara. Yield Obligasi negara (SUN) telah mengalami kenaikan, yang menunjukkan bahwa pasar meminta premi risiko yang lebih besar untuk hutang pemerintahan, disebabkan oleh ketakutan terkait masalah fiskal.

Apabila pemerintah tetap melanjutkan pengeluaran tanpa didukung oleh pendapatan yang cukup, hal ini dapat menimbulkan peningkatan risiko kenaikan utang, sehingga memperluas bebannya berupa bunga dari hutang yang telah mencapai lebih dari 500 triliun rupiah setiap tahunnya.

Tindakan Mendesak yang Perlu Ditangani oleh Pemerintah

Pemerintah tak dapat memundahkan lagi pengakuan terbuka tentang permasalahan Coretax serta pendapatan negara. Keterbukaan informasi sangat penting dalam menyelamatkan kepercayaan publik maupun investor. Beberapa tindakan cepat harus diambil sebagai berikut:

Sebaiknya audit terhadap Coretax dilakukan secara menyeluruh dengan mengajak BPK, KPK, serta lembaga independen mulai dari tahap awal untuk memastikan hasil akhir bersifat obyektif.

Meluncurkan layanan darurat Administrasi Perpajakan, yang mencakup pembukaan kembali pelayanan manual secara temporal, sehingga Wajib Pajak masih dapat melakukan pembayaran dan pelaporan.

Peninjauan kembali pengeluaran pemerintah, menghapus pembelanjaan yang tak penting, serta mencakup penangguhan atau penyusutan beberapa kebijakan populer yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Merekonstruksi pandangan fiskal untuk tahun 2025, memperbarui tujuan pajak dan defisit dengan cara yang masuk akal, lalu menyampaikan informasi tersebut kepada pembeli dan masyarakat umum secara transparan.

Menyusun pilihan pendanaan fiskal lainnya, misalnya dengan mendorong Badan Usaha Milik Negara untuk meningkatkan pembagian laba dan mendapatkan keuntungan dari penjualan aset lebih cepat. recovery , atau melakukan strategic partnership secara pribadi tanpa menambah hutang.

Transparansi dalam Memelihara Kepercayaan dari Pasar dan Masyarakat adalah Prioritas Terpenting

Krisis fiskal tak sekadar tentang data, tetapi lebih kepada kepercayaan (trust). Apabila pemerintah berkelok-kelok dalam menyingkap kenyataan bahwa Coretang tidak berhasil, bahwa pendapatan perpajakan terkendala, serta Anggaran Pendanaan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 diambang ancaman defisit yang signifikan, niscaya pasar akan meragukan komitmennya, sehingga beban fiskal bakal makin memberatkan.

Maka dari itu, agar krisis fiskal tidak menjelma menjadi krisis kepercayaan, pihak pemerintahan perlu tampil transparan dan bersikap jujur, menerapkan pembetulan anggaran, serta merancang komunikasi dengan warga negara, para pelaku pasar, dan industri swasta.

Bila demikian, perkiraan defisit sebesar 2,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hanyalah awalnya saja. Sesuai dengan dugaan kita, defisit berpotensi mencapai angka Rp800 triliun atau naik menjadi 3% PDB, yang dapat membahayakan keseimbangan ekonomi dalam jangka waktu lama.

Pada hari Kamis nanti, saat APBN KiTa Edisi Februari 2025 diluncurkan, masyarakat harus diberikan transparansi yang memadai, terlebih mengenai risiko keuangan fiscal yang tengah dihadapi oleh Indonesia pada masa kini.

0 Komentar