Bank Dunia: Kinerja Pajak RI di Bawah Standar, Kalah Saing dengan Negara Tetangga

Bank Dunia mengkritik performa penerimaan pajak Indonesia yang kurang baik. Perbandingan antara rasio pendapatan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berada di urutan bawah secara global.

Ini dijelaskan dalam laporan Bank Dunia dengan judul "Mengestimasi Celah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Korporasi (PPh) di Indonesia", yang dirilis pada tanggal 2 Maret 2025.

"Kinerja Indonesia dalam mengumpulkan pendapatan pajak kurang baik," sebagaimana tertera di dalam laporannya tersebut, dirujuk pada hari Rabu (26/3).

Menurut catatan Bank Dunia, perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 9,1% pada tahun 2021 cukup rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan tersebut. Sebagai contoh, Kamboja memiliki rasio 18%, Malaysia mendapatkan angka 11,9%, Filipina memperoleh hasil 15,2%, Thailand mengumpulkan dana sebanyak 15,7%, sementara itu Vietnam berhasil meraih rasio 14,7%.

Berdasarkan informasi dari Bank Dunia, Indonesia telah mengalami pergerakan turun yang cukup memprihatinkan dalam hubungan antara pendapatan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB) selama sepuluh tahun belakangan ini. Jika dibandingkan dengan data yang ada pada awalnya, yaitu sepuluh tahun silam, angka untuk tahun 2021 menunjukkan adanya penurunan kira-kira 2,1 persen.

Krisis COVID-19 semakin mempersulit performa pengumpulan pajak, menyebabkannya merosot drastis hingga mencapai angka 8,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penghasilan Badan (PBPTP), yaitu penyumbang terbesar dalam pendapatan pajak, tidak mampu bekerja sebagaimana mestinya.

Di tahun 2021, Pendapatan Progresif Harta (PPH) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengalami kontribusi kira-kira 66% terhadap keseluruhan pendapatan pajak, hal ini setara dengan kurang lebih 6% Produk Domestik Bruto (PDB). Walaupun kedua jenis pajak tersebut dinilai lebih efisien dibanding opsi pajak lainnya oleh Bank Dunia, namun hasil pengumpulan mereka tetap saja cenderung rendah bila disandingkan dengan negeri-negeri serupa secara struktur maupun wilayah.

Menurut Bank Dunia, kinerja dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang kurang baik disebabkan oleh gabungan beberapa elemen seperti tingkat kesadaran membayar pajak yang rendah, tarif pajak efektif yang cukup rendah, serta cakupan objek pajak yang terbatas.

Perkiraan Bank Dunia mengindikasikan bahwa tingkat keberhasilan pengumpulan pajak di Indonesia masih kalah dengan negara-negara sekitarnya dan selisih dalam hal penerimaan pajak atau pendapatan yang tertinggal semakin membesar. Berdasarkan laporan Bank Dunia, keberhasilan pengumpulan pajak di Indonesia kurang mampu dibandingkan negara jiran dan celah pajaknya terus melebar.

Efisiensi rata-rata Indonesia sejak tahun 2015 masuk sebagai salah satu yang paling rendah di antara negara-negara dengan pendapatan menengah yang dipilih untuk dianalisis ini. Skornya juga mengalami penurunan dari periode ke periodenya.

Pada Oktober 2021, pihak berwenang sudah menerapkan beberapa metode untuk memperbesar pendapatan perpajakan dengan merestrukturalisasi KUHP atau Kerangka Hukum Perubahan Pajak. Mereka pun menambah besaran tarif PPn serta mencabut sejumlah kecualiannya. Di samping itu, kenaikan anggaran dalam aturan PPh bagi badan usaha yang diberlakukan awalnya ikut dibekukan.

Implementasi Undang-Undang Pengaturan Seragam Pajak diharapkan bisa memperbesar pendapatan pajak antara 0,7% sampai dengan 1,2% dari Produk Domestik Bruto setiap tahunnya mulai tahun 2022 hingga 2025. Walau bagaimana pun, berdasarkan laporan Bank Dunia, pengumpulan pajak di Indonesia tetap harus mengatasi beberapa kendala serta perlu peningkatan lebih lanjut.

0 Komentar