
Kasus meningkatnya jumlah pedagang gerobak merajalela terjadi pada bulan Ramadhan di Jakarta. Salah satu contohnya dapat ditemui di wilayah Mampang, Jakarta Selatan.
Mereka berdiri di samping gerobak sepanjang masa Ramadhan untuk mencari belas kasihan dari para pengemudi yang lewat. Bagaimanakah kisahnya?
Berikut cerita tentang penduduk berasal dari Cibubur yang bertahan di area Mampang Prapatan.
Pasangan suami istri tersebut bernama Hanifah (36) dan Aziz (38). Mereka berada di sisi jalan dengan dua gerobak mereka, kurang lebih 200 meter sebelum flyover Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Saat ditemui, Hanifah sedang tertidur dengan beralaskan karton di atas trotoar jalan. Meskipun tampak tenang, dia mengungkapkan rasa cemas terhadap petugas Satpol PP yang melakukan penertiban.
Hanifah berkata kepada imporong.com bahwa dia sudah satu bulan menjalani hidupnya dengan menggunakan gerobak. Dia mengungkapkan bahwa dirinya dipaksakan untuk melakukan hal tersebut lantaran telah bangkrut setelah menanggung biaya perawatan suaminya yang sakit.
"Saya sebelumnya menjual sayuran. Namun, minggu lalu suami saya sakit dan tabungan kami sudah habis. Oleh karena itu, akhirnya saya berjualan di pinggir jalan," ungkap Hanifah saat ditemui oleh imporong.com pada hari Jumat, 28 Maret.



Hanifah serta suaminya menyewa tempat tinggal di Cibubur bersama dengan 6 orang anak mereka, tetapi ketinggalan membayar sewanya. Karena itu, mereka berdua beserta dua anak yang masih muda akhirnya harus hidup jalanan seperti pemulung.
Putra atau putri mereka yang lain menetap bersama keluarga besar di Kalibata.
Hanifah menyebut tidak memanfaatkan kebaikan hati saat bulan Ramadhan tersebut. Alasan mendorong gerobak adalah untuk mencari barang-barang bekas dengan harapan bisa menjualnya dan uang itu digunakan untuk membeli makanan.
Namun, menurut pengakuan Hanifah, karena bulan yang dipenuhi dengan kebaikan ini, sekarang hutang mereka telah dapat diselesaikan.
"Sudah mendapatkan uang hingga satu juta rupiah tetapi telah terpakai untuk membayar sewa rumah. Hanya itu saja, sekarang sedang berusaha mengumpulkan lebih banyak uang untuk biaya sewa tersebut. Syukur alhamdulillah bisa tertutupi," ungkapnya.
Hanifah menyampaikan bahwa dia akan tetap melanjutkan perjalanannya hingga menjelang Lebaran. Dia masih berdoa semoga dapat merayakan Idul Fitri di tempat asalnya, yaitu di Purwakarta.
"Sudah saya bayarkan uang untuk sewa rumah. Sekarang hanya mencari dana untuk kembali pulang dan membelikan pakaian lebaran bagi anak-anak," katanya.
Saat menjalani hidup di perjalanan, Hanifah dan keluarganya tertidur di dalam gerobak, bermandi di masjid atau bangunan kantor yang memberikan izin. Mereka mengandalkan bantuan orang lain untuk mendapatkan makanan sehari-hari.
Dia menyatakan bahwa meskipun kehidupan jalanan memberinya beban, hal itu tidak menghalangkannya untuk tetap puasa dari hanya makan pada waktu sahur dan berbuka saja.
"Pada hari Kamis ada banyak orang. Kemudian Jumat malam hingga Sabtu dan Minggu. Secara umum mulai dari Kamis, Jumat, Sabtu sampai Minggu. Kebiasaannya mereka makan nasi. Hanya nasi untuk awalnya. Sementara uang atau bahan kebutuhan dasar sebagai tambahannya," jelasnya.
Hanifah mengatakan bahwa ada seorang Pak Haji yang secara konsisten menyediakan uang untuk mereka. Meskipun dia tak kenal dengan orang ini, Hanifah memperhatikan bahwa uang tersebut selalu hadir pada waktu siang hari.
Alhamdulillah ada. Dia mendapat Rp 50 ribu dari Pak Haji. Setiap minggunya, Pak Haji memberikan sebanyak itu dua kali kepada seseorang. Jika melewati jalanan dengan kendaraannya, semua pejalan kaki tahu bahwa Pak Haji akan melemparkan uang tersebut. Aktivitas ini menjadi rutinitas bagi mereka berdua; bertemu di jalan dan biasanya terjadi pada pukul 12.
Sebenarnya Hanifah cenderung lebih suka kembali ke usaha jualan sayuran seperti dulu. Hal ini karena hidup di pinggiran jalan penuh dengan rasa takut, termasuk razia polisi.
Saya pernah mengalaminya (dikawal). Saat itu kami dimarahi dan masuk ke gang-gang sempit dalam permukiman. Kami tidak boleh berjualan pada pagi hari. Sebaliknya, mulai dari tengah hari hingga sore, kami keluar menuju tepian jalan utama yang menuju dari Mampang ke Kuningan," ungkap Hanifah. "Itulah sebabnya saya selalu waspada dan mata harus tetap peka.
Hanifah tidak sendiri
Hanifah tidak sendirian dalam hal tinggal bersama gerobak di sepanjang Jalan Mampang di dekat flyover menuju Kuningan.
imporong.com melihat sekitar 10 kali pemandangan orang dengan gerobak mereka. Namun, banyak di antara mereka menyatakan tidak mempunyai tujuan serupa dengan Hanifah.
Mereka menyatakan diri mereka benar-benar sebagai pengumpul sampah yang berkeliling untuk mencari barang bekas.
Sebab mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Karawang, Bobotsari, dan Purwakarta. Mereka semua menyatakan telah mempunyai Kartu Tanda Penduduk Jakarta.
Di luar Hanifah, tidak ada yang menyatakan memanfaatkan bulan Ramadan sampai Idul Fitri sebagai sumber pendapatan.
Walaupun begitu, mereka tidak menyangkal bahwa terkadang menerima sumbangan secara tiba-tiba dari para pengemudi yang sedang lewat.
Terdapat Marni (55) dan Jumadi (42), yang menyebut dirinya berprofesi sebagai gelandangan. Kedua orang tersebut mengklaim bahwa mereka mendapatkan bantuan pangan lebih banyak dibanding uang tunai saat bulan puasa.
Jack (52), warga Duren Tiga yang bekerja sebagai pemulung, menyebut bahwa ia bisa menerima uang hingga Rp 200 ribu dari para pengemudi yang lewat di jalur Jalan Mampang satu kali dalam sebulan.
"Terdapat 200 ribu, dua hari lagi sebelum bulan puasa. Kalau saat puasa, pendapatan bisa mencapai 50ribu dari para penjual. Selain itu, saya juga berjualan mantel, jika hujan maka meninggalkan gerobak," jelas Jack.
0 Komentar